Sabtu, 03 Juni 2017

MAKALAH KEBENARAN ILMIAH DAN NON ILMIAH



MAKALAH
KEBENARAN ILMIAH DAN NON ILMIAH

Makalah Ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu




Dosen Pengampu :
Dra. Hj. Ermi Suhasti Syafe’I, M.SI.

Penyusun :
Ahmad Misbahul Anwar (16350046)
Muhammad Qosim A. (16350071)
Muhammad Nisful M. (16350060)
Hilmanudin Wirayuda (16350051)
Rofika Duri (16350045)



JURUSAN AL AHWAL ASY SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017




BAB II
PEMBAHASAN
1.    TEORI KEBENARAN ILMIAH
            Kebenaran ilmiah berbeda dengan kebenaran non-ilmiah. Kattsoff berpendapat, kebenaran sama dengan proporsi/proposition. Ini lebih tertuju pada makna atau simantik ketimbang pernyataan atau sintaksis. Orang bisa saja membuat pernyataan dengan memakai susunan kalimat yang tepat, namun belum tentu hal itu bermakna.
a.    Kebenaran Proporsi
       Proporsi adalah pernyataan tentang hubungan yang terdapat diantara dua istilah. Ada tiga hal pokok dalam suatu proporsi, yaitu subyek, predikat, dan tanda (kopula). Contoh : “Setiap manusia adalah tidak kekal”. Setiap manusia (subyek), dan tidak kekal (predikat), sedangkan kata adalah merupakan “kopula”. Statemen tersebut dilihat dari struktur kalimatnya adalah sempurna, serta makna yang dimilikinya pun sungguh-sungguh benar. Dengan demikian ia dapat dikatakan sebagai sebuah proporsi.Suatu proposisi mengandung suatu makna, jika proposisi itu membuat perubahan.contoh:Kita tersesat di hutan, setelh sejenak mempertimbangkanya, kita berkata paada diri kita sendiri,”Jalan keluarnya ialah ke kiri”Proposisi ini mengandung makna bagi kita, jika kita kemudian berjalan ke kiri. Dengan kata lain, kita menghadapi masalah untuk keluar dari hutan dan kita telah mengucapkan suatu proposisi yang merupakan hipotesa mengenai cara untuk keluar dari hutan.
b.    Kebenaran Pragmatis
       Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila memiliki kegunaan/manfaat praktis dan bersifat fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, sorang laki-laki yang meminta izin kepada istrinya untuk berpoligami. Karena berpoligami dalam agama itu diakui dan disunnahkan. seorang laki-laki yang meminta izin kepada istrinya untuk berpoligami bersifat pragmatis, artinya dia ingin memenuhi sunnah Rasul.[1] Pragmatisme juga mengajarkan bahw kebenaran tidaklah sekedar berfungsi atau berguna, tetapi juga harus mempunyai kegunaan kongkrit.
c.    Kebenaran Korespondensi
       Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contohnya, Jurusan teknik elektro, teknik mesin, dan teknik sipil Undip ada di Semarang. Jadi Fakultas Teknik Undip ada di Semarang.
d.   Kebenaran Koherensi
       Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koheren menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus. Contohnya, seluruh mahasiswa UIN SUNAN KALIJAGA harus mengikuti kegiatan Ospek. Rofika adalah mahasiswa UIN SUNAN KALIJAGA, jadi harus mengikuti kegiatan Ospek.[2]
e.    Kebenaran Performatif
       Bagi Lacey A. R, sebagaimana dikutip Ali Mudhofir, menjelaskan bahwa teori kebenaran performatif (performative theory of truth) menekankan pada kata benar. Maksud dari kata itu ialah jika suatu ungkapan dipandang benar jika dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan konkrit. Sebaliknya akan menjadi tidak bermakna bila tidak bisa terwujud dalam tampilan senyatanya. Seperti seorang yang mengatakan “Saya bisa membaca Al Qur’an”. Ketika disodorkan mushaf ataupun juz ‘amma kepadanya untuk dibaca, dan ternyata ia bisa maka pernyataannya benar. Akan tetapi itu menjadi tidak bermakna apabila yang terjadi sebaliknya, yaitu ia tidak bisa membacanya.[3]

2.    TEORI KEBENARAN NON ILMIAH
a.    Pengetahuan Biasa
       Penganut teori ini disebut dengan realisme. Teori ini mempunyai pandangan realitas terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi yang asli yang ada diluar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dlam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataan.[4]
       Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari proses tahu (tahap awal),dan hasilnya disebut pengetahuan biasa (tahap kedua). Tahap ketiga ialah ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang tingkat vasiliditasnya diatas pengetahuan biasa. Contoh pengetahuan biasa, “setiap orang tahu bahwa api itu panas.” Pengetahuan tersebut diperoleh dengan cara kontak atau pengalaman (indrawi) antara subjek dengan objek.[5]
b.    Wahyu
       Dalam kamus bahasa indonesia, wahyu yang berasal dari bahasa arab, berarti adalah perwujudan (sepeti orang, dan sebagainya) sebagai apa yang terlihat dalam mimpi. Art lainya adalah petunjuk atau ajaran tuhan yang di turunkan dengan perwujudan dalam mimpi, dan sebagainya.
       Arti wahyu secara  umum adalah bisikan, isyarat atau petunjuk , ilham, perintah, perundingan rahasia. Dalam syara”, wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh Nabi atau Rasul, yang berasal dari allah dengan perantara/ tidak melalui perantara ( malaikat, mimpi, indra, lonceng). Manusia tidak akan mengetahui hakikat wahyu secara pasti, hanya Allahlah yang mengetahui hakekatnya. Logikanya, sesuatu yang dibawa/ disampaikan oleh orang  yang terkenal jujur dan terpelihra dari kesalahan .[6]
c.    Mitos
       Mitos itu diturunkan secara subyektif, dalam arti kebenaranya hanya berlaku dimana berlaku dalam masyarakatnya, dan tidak ada kaitan antara pengalaman dan penuturan. Mitos berarti menghindar realitas, bukan menghadapi realitas. Seperti ruwatan, patung, sesaji yang dianggap symbol yang dapat menghindarkan malapetaka.
       Mitos biasanya efektif sebagai alat komunikasi massa. Mitos akan hidup tatkala rakyat tertekan da n penuh harapan. Mitos dapat juga mendorong per buatan. Misal mitos tentang ratu kidul, masyarakat antusias datang kepantai seklatan melakukan ritual dan sesaji berharap agar hidupnya selamat, aman dan tentram.
       Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan ini sangat sukar untuk dibedakn. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan dari kepercayaan.
d.   Mistik
       Mistik atau disebut juga dengan spiritual adalah teori yang masuk dalam supra-rasional, kadang memiliki bukti empiris, tetapi kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris. Spiritualisme adalah ajaran yang menytakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh (Pneuma, Nus, Reason, logos) yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. Spiriualisme dalam arti ini  dilawankan dengan materialisme. Spiritualisme kadang-kadang dikenakan pada pandangan idealistik yang menyatakan adanya roh mutlak. Dunia indera dalam pengertian ini dipandang sebagai dunia idea.[7]
e.    Intuisi
       Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampun ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.
       Menurutnya, intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisis atau pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan tidak dapat menggantikan hasil pengenalan intuisi.[8]
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebaga dasar untuk menyus
un pengetahuan secara teratur maka ituisi tidak bisa diandalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya  dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya. Kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling membantu dalam menentukan kebenaran. Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak experience). Sedangkan bagi Nietzsche merupakan inteligensi yang paling tinggi.[9]


DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. http://caturpambudy.blogspot.co.id/2012/04/makalah-kebenaran-non-ilmiah.html , diakses             pada 09-05-2017.
Suhasti Ermi, filsafat ilmu,yogyakarta : prajnya media 2012.
Tim Dosen, Filsafat Ilmu, Yogyakarta:Lyberty, 2010.
Sadullah  Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, PT. Alfabeta, Bandung: 2008.
http://www.afdhalilahi.com/2014/11/kebenaran-ilmiah.html , diakses pada 10-05-2017.
Khoiruddin,Isro “IZIN POLIGAMI KARENA DORONGAN ISTERI: STUDI PUTUSAN NO. 790/PDT.G/2013/PA. SMN”, Jurnal Al Ahwal, Vol 8, No 2 Tahun 2015, download http://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/view/936 , akses pada 18 Maret 2017.
           


                [1] Isro Khoiruddin, “IZIN POLIGAMI KARENA DORONGAN ISTERI: STUDI PUTUSAN NO. 790/PDT.G/2013/PA. SMN”, Jurnal Al Ahwal, Vol 8, No 2 Tahun 2015, download http://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/view/936 , akses pada 18 Maret 2017.
[2]           Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, PT. Alfabeta, Bandung: 2008. Hlm. 33-37
[3]           http://www.afdhalilahi.com/2014/11/kebenaran-ilmiah.html , diakses pada 10-05-2017
[4]           Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta : Logo, 1997), cet. I, hlm. 38.
[5]           Ermi suhasti, filsafat ilmu,(yogyakarta : prajnya media,jan 2012),cet. I, hlm. 67.
[6]           Ibid, hlm.68.
[7]           Tim Dosen, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Lyberty, 2010), cet. Kelima,  hlm. 35.
[8]               Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2004), edisi revisi, hlm. 107 – 108.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar